IBU ?
Short story by :
Muhammad Arif Billah
Suara
dering alarm membelah keheningan kamar ini. Membangunkan ku dari alam mimpi
yang tidak beraturan, menuju kepada kenyataan. Aku membuka mataku. Tapi,
semuanya tetap gelap. Bahkan sampai aku mencoba untuk membuka mataku lebih
lebar. Namun semuanya tetap sama. Hanya kegelapan yang terhampar sejauh mata
memandang. Ya, inilah kehidupanku. Tidak ada warna yang menghiasai hari-hariku.
Aku
meraih tongkatku dan berjalan dengan pelan menuju jendela. Ku buka jendela itu
seluas-luasnya. Aku ingin melihatnya, pemandangan diluar sana. Aku selalu
membayangkan warna warni kehidupan, berlari di taman yang penuh dengan
warna-warni bunga. Ya, Aku selalu menantikannya. Namun sekarang aku sadar,
impian itu hanya ilusi belaka. Dan aku hanya bisa berusaha untuk
mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan
untukku.
Sebuah suara
ketukan di ambang pintu memecah lamunanku.
“Hai Anna, kau sudah bangun
rupanya. Ini Ibu membawakanmu sarapan. Ibu harap kau menyukainya” Ucapnya
dengan lembut.
Aku
berbalik dan tersenyum kearahnya walaupun aku tak tau keberadaannya. Aku
merasakan sebuah tangan yang lembut memegang lenganku, dan menarikku dengan
pelan menuju tempat tidurku.
“Aromanya sangat enak. Pasti
rasanya juga enak” ucapku sambil tersenyum.
“Ah kamu bisa aja. Ibu kan jadi
malu.” Katanya, seraya menyuapiku. Aku membuka mulutku, mempersilakan makanan
itu masuk kedalam mulutku. Aku mencoba meraba-raba, mencari wajahnya. Aku belai
pelan wajahnya yang lembut dan dingin itu. Tidak kusangka Aku mulai meneteskan
air mata.
“Ibu, Aku ingin memandangmu.
Melihat senyuman indahmu. Aku juga ingin melihat dunia nan luas, yang penuh
dengan warna” Ucapku.
Aku merasakan
cairan yang dingin merembes turun di pipinya. Aku yakin ia sedang menangis. Ia
terisak, lalu memeluk erat diriku. Dibelainya rambutku yang panjang itu, ia
berkata padaku.”Itukah yang kau inginkan sayang ? maafkan Ibu karena telah
melahirkanmu dalam kondisi seperti ini. Ini salah Ibu. Maafkan Ibu, maafkan
Ibu” ucapnya tersedu.
“Tidak, itu bukan salahmu,
maafkan Aku telah berkata demikian kepadamu. Maafkan Aku, maafkan Aku. Aku tak
ingin kau menangis, bu”
“Tidak, Ibu tidak sedang
menangis”
“Walau Aku tak bisa melihat,
namun aku bisa merasakan air matamu”.
“Maaf, Ibu pergi dulu keluar
sebentar” Katanya seraya melepaskan pelukannya dariku. Lalu ia menghilang
begitu saja. Bahkan aku tak mendengar suara langkah kakinya.
Beberapa saat kemudian, seseorang
masuk kedalam kamarku. Aku dapat dengan jelas mendengar suara derap langkah kakinya.
“Siapa disana ?”
“Ini Nenek, Anna. Nenek punya
kabar gembira buatmu”
“Apa nek ?”
“Rumah sakit bilang telah
menemukan pendonor Mata yang cocok untukmu. Tak berapa lama lagi kau akan bisa
melihat sayang” Ucapnya kegirangan. Ia menarikku lalu memeluk erat diriku. Aku
sangat terkejut. Aku tak kuasa memendam kebahagiaan ini. Tak terasa air mata
mengalir di kedua belah pipiku.
**
Aku terbangun dari tidur
panjangku, di tempat ini. Sudah satu minggu Aku berada disini. Tapi Aku tak
pernah mendengar suara Ibu. Aku ingin menemuinya.Dimanakah ia sekarang ?. Aku
tak sabar ingin membuka perban yang menutup kedua mataku ini, dan melihat wajahnya.
Aku berkali-kali bertanya kepada Nenek dimana Ibuku sekarang. Namun, ia enggan
menjawabnya. Ia tidak bersuara sepatah katapun saat Aku bertanya tentang hal
itu.
Seseorang masuk kekamarku.
“Hai Anna, apakah kau sudah
siap melihat dunia ?” katanya. Aku mengenalinya.
Itu adalah suara dokter yang mengoperasi mataku. Aku hanya mengangguk pelan.
Ia mulai mendekat kearahku. Ia
mendekatkan guntingnya ke wajahku. Aku dapat mendengarnya. Ia perlahan mulai menggunting
perban yang tengah menutupi kedua belah mataku. Keringat dingin mengucur
membasahi wajahku. Rasa bahagia dan gugup bercampur aduk menjadi satu.
Bagaimanakah dunia itu ? dunia yang telah lama Aku dambakan. Aku sangat tidak
sabar ingin melihatnya. Dokter mulai membuka lilitan perbannya. Satu lapis, dua
lapis, Aku begitu tidak sabar menantikannya. Ya, lilitan perban itu telah lepas
dari mataku. Aku perlahan mulai membuka mataku. Terdapat sedikit warna yang
buram disana. Warna tersebut makin jelas, dan makin jelas. Aku dapat melihat.
Bahagianya aku.
“Nenek, Nenek, dimana kau ?”
Ucapku.
“Aku disini, sayang. Apa kau
dapat melihatku ?”
“Ya, Aku dapat melihatmu, nek”
“Oh, syukurlah sayang, Nenek
sangat senang sekali.“ Ucap Nenek.
Lalu datang seorang pria
menghampiriku. Mata Kanannya tertutup oleh perban.
“Itu siapa, Nek? Ada apa dengan
mata kanannya ?” Tanyaku.
“Itu ayahmu, Anna. Dialah yang mendonorkan
sebelah matanya untukmu”. Kata nenek.
“Oh, Ayah. Terimakasih, terimakasih
banyak. Maafkan Aku, telah mengambil penglihatanmu. Maafkan Aku”
“Tak Apa, nak. Melihatmu bahagia
saja Ayah sudah sangat bahagia”. Ucapnya.
Suasana ini sangat membahagiakan.
Berbagai air mata berjatuhan dari kelopak mata kami. Berakhirlah sudah penderitaanku
selama bertahum-tahun.
Ditengah haru biru ini Aku
teringat satu hal.
“Nek, Ibu dimana ?” tanyaku.
Namun ia tetap tidak menjawab. Kutanyai mereka satu persatu. Tidak ada yang
mau menjawabnya. Beerulang-ulang Aku
mengajukan pertanyaan yang sama. Mereka tetap tidak menjawabnya.
Setelah Aku tanyai terus menerus,
Nenekpun angkat bicara.
Dan Aku benar-benar tidak
mempercayainya.
Nenek bilang, Ibu telah meninggal
saat Aku di lahirkan. Aku benar-benar tidak percaya. Siapa yang menyapaku
disetiap paginya ? siapa yang memberiku makan minggu lalu ? dan lantas,
siapakah perempuan bergaun putih panjang yang sekarang tengah berdiri di sudut
ruangan itu ?