Aku duduk sendiri di atas sebuah batu. Merenung, hati ini tersesakkan
oleh rasa rindu yang memenuhi rongga dada ini. Duh gusti, inginnya aku
melepaskan semua kerinduan ini, menghempaskan segala kegelisahan yang
menjadi-jadi ini. Akankah aku dapat bertemu dengannya lagi?
Matanya, bibirnya, senyumannya, indah menawan berseri. Gerak gayanya yang anggun
memikat hati muda jejaka. Rambutnya yang terurai panjang menambah
keayuannya. Wajahnya cantik berseri, bak rembulan yang bersinar terang,
menyelamatkan alam semesta dari suramnya malam. Kehangatannya, paras
ayunya, membuat siapapun tergugah tergoda, terpesona. Dia gambaran nyata
sang dewi, sang bidadari. Ia adalah hasil karya tuhan yang begitu
indah.
Gusar aku memikirkannya. Setiap malam datang, aku selalu terdiam
merenung, menatapi sang rembulan, yang di sekitarnya tersebar ribuan,
tidak, milyaran bintang yang tersebar menerangi sang bumi yang ku
pijaki. Penuh tangis harap dan doa, agar aku dipersatukan lagi
dengannya.
Dimanakah dia sekarang? apakah dia tengah merenung dan memikirkanku
juga? merindukanku, atau dia tengah tersiksa dan terhimpit di sana?
Aku lalu mengalihkan pandanganku kepada sebuah batu di depanku.
Padanya terukir namaku. Ia tertancap di atas rumahku, rumah yang gersang
dan kering kerontang. Rumput-rumput liar terlihat berayun di atasnya.
Terjebak dalam kesepian yang nyata. Tiada ada yang mengunjungi, dan
berdoa untukku.
Aku harap nasibnya tak sama sepertiku, yang tak punya sanak keluarga
yang perduli denganku. Aku harap ia bahagia di sana. Dan aku harap
tuhan mempersatukan kami. Aku akan menunggunya, tak peduli
berpuluh-puluh atau beratus ratus atau beribu tahun aku harus menunggu.
_selesai_
Senin, 01 Juni 2015

Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: